Bergabung di Blogger Buku Indonesia

Kembali ke niat awal membuat blog ini adalah untuk bergabung di BBI (Blogger Buku Indonesia) Untuk menyemangati diri kembali semangat membaca yang semakin lama semakin pupus tergerus kesibukan ngeblog (eh, kok kesannya mencari kambing hitam, yah? Kalau males bilang aja males. Hiks... Jadi inget bertahun-tahun lalu, ketika semangat membaca masih membara, lebih rela nggak jajan karena uangnya buat minjem buku di perpustakaan umum dekat sekolah. Jadi inget tulisan "Ketika Bukuku dimakan Rayap, Ibarat Menghitung Sebuah Nikmat"


Saat bercerita sejak kapan aku menyukai buku, aku mengingat-ingat mungkin sejak Sekolah Dasar. Meskipun bacaan di sekolahku sangat terbatas, apalagi di kampungku nggak ada perpustakaan. Jadi, aku menggunakan semaksimal mungkin faslitas perpustakaan yang ada di sekolah. Guru-guru sering meminjamkan buku kepada para murid-muridnya. Setiap ada buku-buku baru, kami selalu berebut untuk mendapatkannya. Sungguh suatu hal yang menyenangkan.


Aku juga jarang sekali membeli buku. Apalagi, buku pelajaran. Saat mulai kelas lima SD, baru aku mulai membeli buku, itupun tidak banyak. Kebetulan, tetanggaku seorang guru jadi, ketika awal bulan mendapat gaji bulanan, beliau akan rajin membawa majalah, surat kabar dan juga beberapa buku. Aku dan teman-teman ketika sore menuju rumahnya, duduk di beranda untuk membaca bersama-sama. Sebuah kenangan, yang indah.

Beranjak remaja, aku masih suka membaca, meskipun terbatas pada buku-buku fiksi. Lagi-lagi, aku kekurangan buku untuk membaca. Tatkala bulan Ramadhan menjelang, kadang aku dan teman-teman menyewa buku di perpustakaan desa tetangga. Maklum, desaku sangat terpencil jauh dari keramaian. Biasanya, akan ada beberapa orang yang menuju ke kampung sebelah, kemudian akan meminjam novel dalam jumlah yang banyak. Setelah itu, kita akan kembali berkumpul dalam satu rumah, beramai-ramai kita akan membacanya.

Yang paling menggembirakan, adalah saat orang tuaku yang merantau di kota kembali ke kampung dengan membawa tumpukan-tumpukan majalah bekas. Subhanallah… Betapa gembiranya saat itu. Hampir tiap hari, aku dan Kakaku tak bergerak dari depan majalah-majalah bekas itu. Aku masih ingat, beberapa bekas majalah Gadis, Bobo, Aneka yess, juga beberapa majalah bekas serial Disneyland. Sampai-sampai, Nenek dan Budeku memarahi kami. Ah, betapa sedihnya…

Memasuki usia 13 tahun, aku tak lagi berada di kampung halaman. Aku merantau ke sebuah kota di Tangerang, mengkuti Budeku bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga. Sejak saat itu, aktifitas membacaku terhenti total. Aku tak lagi bersentuhan dengan buku, waktuku, banyak kuhabsikan untuk mengurusi pekerjaan rumah. Tapi, aku tak lama bekerja di situ. Hanya sekitar 6 bulan. Setelah itu, aku baru pindah ke Cilegon mengikuti kedua orang tuaku.

Lagi-lagi, ditahun yang sama aku harus kembali bekerja di Pamulang. Dan aku tak lagi bersentuhan dengan dunia baca. Hanya sesekali, aku membaca majalah koleksi anak majikanku.
Nasib berkata lain, saat usia 15 tahun, aku justru kembali memasuki dunia persekolahan. Di situlah, aku kembali berjinak-jinak dengan buku, yang sudah sangat lama aku tinggalkan. Mau tak mau, aku harus menjamah buku dan membacanya. Saat naik kelas dua sekolah menengah pertama, semangat membacaku kembali tumbuh. Aku membaca buku apa saja, selain buku pelajaran. Aku betul-betul merasakan betapa semangatnya aku membaca buku saat itu. Lagi-lagi, karena terbentur dengan masalah keuangan, aku jarang sekali membeli buku. Aku lebih sering meminjam buku di perpustakaan sekolah, perpustakaan umum dan kadang ke teman.

Memasuki bangku SMU, semangat membacaku masih tinggi. Aku bahkan lebih rela menyisihkan uang gajiku untuk membeli majalah dan meminjam buku di perpustakaan umum. Kalau sudah tidak mempunyai uang, aku akan melahap buku-buku di perpustakaan sekolah. Aku juga sempat membuat daftar keinginan, di mana gajiku setiap bulan harus disisihkan untuk membeli buku, membayar sekolah dan membeli buku sekolah. Saat SMP sampai SMU, aku nyambi kerja sebagai PRT. Sayangnya, gajiku tidak berapa cukup untuk itu semua. Walhal, buku masih menjadi barang mahal buatku.

Adalah sebuah kebahagiaan, saat aku duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah, aku dipertemukan dengan Mas Gol A Gong melalui sebuah majalah, pengasas Pustakaloka Rumah Dunia (kini menjadi Rumah Dunia). Sejak mengenalinya, aku sering nongkrong di sana, sekedar membaca atau terkadang sesekali ikut berdiskusi. Sampai kelas dua tersebut, aku masih belum mampu, untuk membeli buku sendiri. Aku lebih fokus, untuk membeli buku pelajaran. Bahkan, atas inisiatif aku dan teman-teman setiap ada yang berulang tahun, akan kami hadiahkan buku pelajaran beserta tanda tangan kami.

Baru setelah aku lulus SMU, keuanganku agak sedikit longgar. Dan, satu demi satu buku, mampu aku beli. Aku sempat berandai-andai, kalaulah aku bekerja sebagai PRT di rumah salah seorang penulis, tentu menyenangkan. Aku tak usah repot-repot membeli buku, aku hanya perlu bekerja di situ, dan bisa menumpang baca setiap waktu. Tapi andaianku kutepis. Setiap kali berkunjung ke Rumah Dunia, kadang aku bertemu dengan “Mbak”nya Mbak Tias, ia sedang sibuk bekerja. Jadi, aku berpikir, mungkin aku nggak sempat baca kalau bekerja di situ. Tak cuma Mas Gong yang jadi incaranku, Mbak Helvy, Mbak Asma dan beberapa penulis lainyya ,sempat kujadikan list orang-orang yang aku ingin bekerja dengan mereka. Sampai pada akhirnya, tak satupun terlaksana.

Hingga nasib membawaku pada tanah Melayu. Aku berangkat menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita, atau pasnya di sebut TKW. Alhamdulilah, nasibku dipertemukan dengan majikan yang baik. Dan, sangat terkejut, saat aku di tempatkan di sebuah bilik buku dan aku tidur di situ. Subhanallah… Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Aku tidur di ruangan, yang kanan kirinya adalah buku. Ruangan berukuran lebih kurang 4×4 meter itu betul-betul penuh berisi buku. Bukan hanya buku melayu memang, tapi, aku melihatnya negitu gembira.

Aku nggak nyangka, kalau majikanku juga rupanya seorang penulis buku. Bukan penulis fiksi memang, tapi penulis buku-buku agama. Dan di kamarku tersebut, penuh dengan buku-buku berbahasa Arab, Inggris, Indonesia, Melayu bahkan sampai bahasa Urdu. Sayangnya, aku lebih banyak menghabiskan novel-novel melayu berbanding buku ilmiah yang ada di situ.

Dan ketika aku dikelilingi dengan lingkungan buku, aku justru lebih suka membeli buku. Aku masih ingat, ketika beberapa tahun dahulu, saat aku masih baru berada di Malaysia, majikanku sempat menegurku,

“Awak nanti mau bawa pulang buku, yah…???” Aku diam, tidak menjawab, tak juga menolak. Kini setelah lima tahun keberadaanku di Malaysia, aku terngiang pertanyaan itu, ketika beberapa waktu lalu, aku mengemas-ngemas bukuku ada yang terkoyak dalam buku baruku, buku yang belum sempat kujamah, buku yang masih terbungkus rapi dalam plastiknya, buku yang perjalannya lumayan jauh. Setelah mengalami beberapa rute perjalanan, Indonesia, Abu Dhabi kemudian sampai ke Malaysia. Karena aku memesan kepada Kakak kelasku yang tinggal di Abu Dhabi.

Masya Allah… Aku seolah tersadarkan. Dulu, dulu sekali aku hampir selalu kekurangan buku untuk kubaca. Tapi, kini ia berserak tanpa sempat kubaca. Masya Allah… Betapa ketika kulihat bukuku dimakan rayap, aku seolah tengah mengitung nikmat, betapa Allah telah menganugerahkan nikmat yang begitu banyak untukku. Tapi aku banyak melalaikannya. Innalillah


Comments

  1. blog walking ..salam kenal
    Selamat gabung di Blog Buku Indonesia
    pengalamannya mengesankan..happy reading ! :D

    ReplyDelete
  2. Salam kenal juga, Mbak :)
    Seneng bisa bergabung :)

    ReplyDelete
  3. Ruangan 4 kali 4 itu, kecil memang. Tapi berhati luas..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts